Direktur Pusako Universitas Andalas Feri Amsari angkat bicara saat Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Demokrat, Benny K Harman dan Politisi PDIP Johan Budi debat di acara Mata Najwa. Mulanya, Benny K Harman menegaskan partainya menolak Dewas KPK. Benny mengacu pada pernyataan politisi PPP Arsul Sani yang sebelumnya mengatakan DPR menyetujui revisi UU KPK.
"Tadi sahabat saya ini menyampaikan kami di DPR menyetujui. Tidak. Kami Fraksi Partai Demokrat menolak keberadaan Dewas ini," tegas Benny K Rahman dalam tayangan Mata Najwa , Rabu (15/1/2020). "Sebab kami sudah tahu membaca ini akibatnya," kata Benny. Benny menyebutkan dirinya sudah mempertimbangkan situasi saat ini pada saat pembahasan revisi UU tersebut dilakukan.
Ia menyinggung pernah menyarankan agar Tumpak menolak tawaran jabatan Ketua Dewas KPK. "Makanya kan Opung, saya (kontak) beliau, tolak itu tawaran Presiden Joko Widodo. Tapi kenapa? Kenapa kok Opung mau jadi Dewas itu?" kata Benny menyayangkan keputusan Tumpak untuk menerima jabatan tersebut. Menanggapi keberatan Benny, politisi PDIP Johan Budi mengatakan sebelumnya tidak ada penolakan revisi UU dari fraksi manapun.
"Saya tidak membaca satu pun pihak yang menyebutkan bahwa ada salah satu fraksi di DPR menolak revisi Undang Undang KPK," kata Johan Budi. "Bukan revisi. Soal Dewas," kata Benny meluruskan tanggapan Johan. "Apapun itu. Tapi yang sudah diputuskan itu tidak ada satu pun fraksi yang tidak menyetujui revisi Undang Undang KPK," jawab Johan.
"Artinya apa? Saya ingin mengatakan bahwa revisi Undang Undang KPK ini adalah kerja sama antara presiden dan DPR," jelas Johan. Menanggapi perbedaan pendapat kedua politisi tersebut, Direktur Pusako Universitas Andalas Feri Amsari menjelaskan memang seperti itu dunia politik di Indonesia. "Inilah menurut saya wajah partai politik. Kalau sudah tahu undang undang ini bermasalah, lempar batu sembunyi tangan. Nuduh Demokrat dan segala macam," kata Feri Amsari.
"Jangan tuduh Demokrat, lah. PDIP apa sih, keinginannya? Berarti enggak bagi KPK dan pemberantasan korupsi? Toh tidak," kata Feri tegas. Feri mengatakan bahkan sebelum dilaksanakan, undang undang hasil revisi sebetulnya sudah dapat dinilai. "Karena itu di dalam azas peraturan pembentukan perundang undangan, ada namanya azas dapat dilaksanakan," jelas Feri.
"Sebelum mendapatkan izin, harus digelar perkara terlebih dahulu untuk penyadapan. Bayangkan potensi bocornya itu," lanjutnya. Feri kemudian mempertanyakan keberadaan Dewas yang mungkin dimanfaatkan oleh pihak pihak tertentu. Ia merujuk pada kasus operasi tangkap tangan (OTT) terhadap komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang sebelumnya harus berizin dari Dewas KPK.
"Ada lima orang baik yang tidak diragukan track record nya, dimanfaatkan seolah olah undang undang ini baik, padahal pelaksanaannya sangat buruk. Dan itu terbukti dalam kasus ini," kata Feri. Abraham Samad menyayangkan Tumpak yang menerima posisi Ketua Dewas KPK. Ia berpendapat topoksi (tugas pokok dan fungsi) dari Dewas KPK sama dengan Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat (PIPM).
Deputi ini adalah unit eselon I di KPK yang bertugas menyiapkan dan melaksanakan kebijakan di bidang pengawasan internal dan pengaduan masyarakat. "Jadi dia membawahi Direktorat Pengawasan Internal," jelas Abraham dalam acara tersebut. Menurut Abraham, fungsi pengawasan sudah dipenuhi dengan adanya Deputi PIPM, sehingga tidak perlu lagi ada Dewas.
"Saya kasih contoh, ya. Saya, Ketua KPK, pernah diperiksa sama Deputi PIPM. Jadi enggak perlu ada Dewas ini," tegasnya. Ia mengakui pada saat itu diperiksa dan sekretaris Abraham dinyatakan bersalah. Ketika ditanya apakah Tumpak sendiri yang memeriksa Abraham, baik Abraham maupun Tumpak tertawa.
"Iya," kata Abraham mengakui sambil tertawa. "Jadi kalau semangat untuk membuat KPK itu lebih firm (kuat), enggak perlu ada Dewas," lanjutnya. Ia kembali menegaskan keberadaan Dewas yang diatur dalam UU hasil revisi justru mengacaukan kinerja KPK.
Abraham kemudian mengomentari operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK beberapa waktu lalu untuk menangkap Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Menurut Abraham, proses perencanaan OTT sendiri memakan cukup waktu untuk dimatangkan sebelum akhirnya dapat terlaksana. "Itu melalui proses yang panjang. Pertama mulai dari Direktorat Pengaduan Masyarakat. Kemudian dilanjutkan ke Direktorat Penyelidikan," kata Abraham.
"Di situlah dilakukan profiling. Kemudian dilakukan penyelidikan tertutup, penyelidikan terbuka," jelasnya. Dengan demikian, semua persyaratan administrasi maupun hukum sudah dipenuhi sebelum OTT dilakukan. "Tapi dulu, dulu enggak perlu izin," potong Tumpak Panggabean.
"Ini persoalannya. Dalam hal mendesak, boleh lakukan dulu," lanjut Tumpak. "Makanya itu, undang undang ini semakin meyakinkan kita dan membuktikan bahwa undang undang ini melemahkan pemberantasan korupsi," jawab Abraham.