Indah (bukan nama sebenarnya) terkejut saat mengecek saldo tabungannya di Bank DKI pada 20 Mei lalu. Hari itu seharusnya saldo tabungannya bertambah, karena merupakan hari pencairan Tunjangan Kinerja Daerah (TKD). Saldo tabungan Indah memang bertambah, tapi tidak seperti biasanya. Jumlahnya berkurang 50 persen.
Indah adalah PNS di lingkungan Pemprov DKI. Sejak akhir April 2020 dia dan rekan rekannya memang sudah mendengar selentingan kabar bahwa akan ada pemotongan TKD di lingkungan Pemprov DKI. Saat mendengar kabar bahwa TKD PNS di Pemprov DKI akan dipotong, Indah dan rekan rekannya panik.
"Segala macam doa dipanjatkan supaya (TKD) enggak dipotong segitu (50 persen). Berharap maksimal antara 10 25 persen," kata Indah. Dan ketika pesan berantai di grup WhatsApp itu jadi kenyataan, bahwa TKD para PNS di Pemprov DKI dipotong 50 persen, Indah langsung terkulai lemas. Beberapa rekan Indah langsung menghubungi pihak bank, meminta restrukturisasi utang.
Yang lain ada yang menjual dan menggadaikan emas, atau menjual apapun yang bisa dijual. Meski TKD nya dipotong, jumlah yang diterima Indah sebenarnya masih cukup untuk hidup sebulan, bahkan berlebih. Jika ditambah gaji pokoknya sebagai PNS, dia masih menerima pendapatan di atas Rp10 juta sebulan.
Yang jadi persoalan, kata Indah, dia juga memiliki utang di bank dan koperasi yang mesti dicicil setiap bulannya. Jika dihitung, jumlah cicilannya di bank dan koperasi berkisar di angka Rp10 juta per bulan. Jika ditambah pengeluaran biaya makan sehari hari, uang sekolah anak, listrik, biaya pulsa, dan lain lain, gaji yang diterimanya justru minus.
"Sebenarnya kalau enggak ada utang sih masih aman banget. Tapi yah, enggak nyangka aja mau dipotong 50 persen. Ngutang pun sudah dari tahun tahun kemarin," kata Indah. Indah menyebut hampir semua PNS di lingkungan Pemprov DKI memiliki utang di bank dan koperasi. "Hampir 90% menggadaikan SK (PNS) di Bank DKI dan Bank BJB," ucapnya.
Di kalangan PNS yang baru diangkat, memang dikenal istilah "menyekolahkan SK". Biasanya, mereka yang baru menerima SK pengangkatan sebagai PNS akan langsung menggadaikan SK tersebut ke bank untuk mengambil kredit. Uang pinjaman dari bank lantas digunakan untuk berbagai keperluan, entah untuk membeli rumah, mobil, atau keperluan lainnya.
Persoalan lain, kata Indah, sejak Januari 2020 lalu suaminya tidak bekerja lagi. Saat itu suaminya memilih berhenti dari tempat bekerja karena berniat memulai bisnis sendiri. Namun, gara gara pandemi Covid 19, semua niatan itu buyar.
Indah pun kini harus menjadi tulang punggung tunggal di keluarganya. Ia harus membiayai semua kebutuhan keluarganya sehari hari, termasuk biaya sekolah kedua anaknya yang masih kecil. "Tapi enggak boleh ngeluh kan. Kata Pak Gubernur (Anies Baswedan) harus banyak bersyukur," ujar Indah. Sebagai PNS, Indah sebenarnya ikhlas menerima kebijakan pemotongan TKD yang dikeluarkan Gubernur Anies Baswedan.
Apalagi tujuan pemotongan TKD itu untuk membantu penanganan pandemi Covid 19 di DKI Jakarta. Sejak mewabahnya virus corona, Pemprov DKI memang agak kesulitan dalam hal keuangan. Banyaknya sektor usaha yang ditutup berimbas pada pendapatan di sektor pajak.
Pemotongan tunjangan perlu dilakukan karena realisasi pendapatan jeblok akibat pandemi Covid 19 dan sebagian pegawai bekerja dari rumah (work from home). Sementara, sebagian ada juga pegawai yang tetap menjalankan pelayanan masyarakat dan bekerja lebih keras untuk mengatasi pandemi. Yang membuat Indah kurang menerima adalah kebijakan pemotongan TKD itu ternyata tidak berlaku untuk semua PNS.
Di beberapa instansi, seperti Dinas Kesehatan, Dinas Perhubungan, Diskominfo, Dinas Sosial, BKD, BPKD, para pegawainya tidak merasakan pemotongan TKDD seperti yang dialami Indah. Termasuk Tim Gabungan Untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP). Tim bentukan Gubernur Anies Baswedan yang memiliki anggota 50 orang itu juga tidak merasakan pemotongan tunjangan. "Dinkes bolehlah enggak dipotong. Lah, TGUPP, kerja enggak jelas, kok dapat full. Gimana enggak kesal," kata Indah.
"BKD dan BPKD juga, masuknya juga enggak full. Terus mereka juga enggak menghadapi covid langsung. Sama Diskominfo juga enggak dipotong. Alasannya, mereka mengolah data covid full time. Tapi kan enggak semuanya (di Diskominfo) yang mengolah data covid," imbuhnya. Sebagai abdi negara, Indah hanya bisa pasrah menerima kebijakan pemotongan TKD yg dikeluarkan gubernur. Dia tidak mungkin memprotes kebijakan tersebut. "Mungkin saya akan jual mobil," katanya.
Indah terpaksa menjual kendaraan yang dimilikinya itu karena kebijakan pemotongan TKD akan berlangsung hingga Desember 2020, sesuai dengan Pergub nomor 49 tahun 2020 tentang Rasionalisasi Penghasilan Pegawai Negeri Sipil Dalam Rangka Penanganan virus corona atau Covid 19, yang ditandatangani Gubernur Anies Baswedan pada 19 Mei 2020. Di sisi lain Sekretaris Daerah Pemprov DKI Jakarta, Saefullah membantah bahwa Tunjangan Hari Raya (THR) untuk Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) tidak dipotong di tengah pandemi virus corona atau Covid 19 masih bergulir. Saefullah memastikan penghasilan Tim TGUPP juga ikut dipangkas dalam penanganan wabah Covid 19.
Hal itu tertuang dalam keputusan Gubernur (Kepgub) DKI Jakarta Nomor 514 tahun 2020 tentang Rasionalisasi dan Penundaan Keuangan TGUPP Dalam Rangka Penanganan Corona Virus Disease (Covid 19). “Rasionalisasi anggaran yang terjadi di PNS DKI maupun TGUPP adalah sama,” kata Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah saat dikonfirmasi pada Senin (1/6/2020). Hal itu dikatakan Saefullah sekaligus menepis pernyataan dari Fraksi PSI DPRD DKI Jakarta pada pekan lalu.
Saat itu PSI menyebut penghasilan dan tunjangan hari raya (THR) TGUPP tidak dipangkas di tengah wabah Covid 19. “Aturan ini berlaku per April 2020 kemarin. Konsekuensinya ada hak hak (keuangan) TGUPP yang sudah diberikan sebelumnya karena kan Kepgub nya diterbitkan mundur, (tanggal 22 Mei 2020)” ujar Saefullah. Tidak hanya penghasilannya yang dipangkas, tapi THR mereka saat Hari Raya Idul Fitri 1441 H lalu juga dipangkas.
Namun mengingat payung hukum tersebut diterbitkan setelah duit THR diberikan, penghasilan TGUPP di bulan berikutnya akan dipotong lebih besar. “Terhadap uang apresiasi atau THR besarannya sudah dirasionalisasi. Kalau ada kelebihan bayar karena Kepgub berlaku mundur, nanti secara akuntansi dapat diperhitungkan kembali karena nanti hak TGUPP ke belakang itu akan dipotong untuk disesuaikan,” jelasnya. Hampir senada dengan Saefullah, Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) DKI Jakarta, Chaidir juga membantah ada kedinasan yang tunjangannya tidak dipotong sehubungan dengan pandemi virus corona.
"Tidak benar, itu isu sesat. Yang dikecualikan itu bentuknya bukan dinas," kata Chaidir. Ia menyatakan, yang dikecualikan untuk tidak dikenakan potongan tunjangan akibat Covid 19 adalah tenaga kesehatan dan pendukung tenaga kesehatan di RS dan Puskesmas. Tenaga pemulasaran jenazah, petugas data informasi epidemiologi Covid 19, petugas penanganan bencana Covid 19 serta petugas pemakaman Covid 19.
"Jadi bukan dinas yang dilihat. Yang dikecualikan itu diatur dalam pergub," kata Chaidir. Contohnya ada petugas di BKD yang mengerti memandikan jenazah, kemudian ditugaskan sebagai tenaga untuk penanganan Covid 19, di sana ada mekanisme. Yaitu Organisasi Perangkat Daerah (OPD) mengusulkan petugas yang masuk untuk dikecualikan pada gubernur melalui Sekda DKI.
"Jadi enggak semua tuh BKD dapat tidak ditunda, tetap dipangkas, tapi ada beberapa yang enggak, yaitu yang diusulkan itu," ujar Chaidir. Sementara itu, terkait dengan ramainya polemik THR TGUPP yang tidak dipotong, Chaidir mengatakan TGUPP memiliki bentuk belanja kegiatan, bukan belanja pegawai. "Itu adalah kegiatan dari Bappeda. Jika dalam kegiatan itu memang dimungkinkan ada apresiasi untuk membayar keahlian tenaganya, ya boleh saja," kata Chaidir.
Chaidir menjelaskan, penundaan tunjangan terjadi akibat adanya kontraksi ekonomi secara nasional. Kemudian atas dasar Surat Keputusan Bersama (SKB) Kemenkeu dan Kemendagri Nomor 119/2813/SJ Nomor 177/KMK.07/2020 tentang Percepatan Penyesuaian APBD Tahun 2020 dalam Rangka Penanganan COVID 19 serta Pengamanan Daya Beli Masyarakat dan Perekonomian Nasional, yang mengamanatkan bahwa tunjangan perbaikan penghasilan daerah tidak boleh lebih tinggi dari tunjangan perbaikan pusat. Di sisi lain APBD DKI terkena kontraksi 53 persen akibat pandemi corona, sehingga seluruh pendapatan dari pajak dan lainnya menurun.
Akibatnya komponen APBD mengalami rasionalisasi, di antaranya belanja pegawai, yaitu tunjangan perbaikan penghasilan. "Itu dimungkinkan karena dia ada di komponen variable cost karena berupa insentif berbeda dengan yang tetap (fix cost) berupa gaji dan tunjangan melekat, itu tidak bisa," katanya. Chaidir menambahkan insentif atau tunjangan perbaikan penghasilan bisa diberikan sesuai dengan kemampuan keuangan daerah.
Sementara, DKI menetapkan tunjangan dibayarkan 75 persen dengan rincian 50 persen dibayarkan, 25 persen sisanya ditunda. "Kalau mampunya 50 persen ya sesuaikan 50 persen, namun kebijakan kita hanya diberi 75 persen, 25 persen rasionalisasi, hanya yang dibayarkan 50 persen, 25 persen sisanya ditunda," katanya. Di sisi lain anggota Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) DKI Jakarta Tatak Ujiyati mengungkapkan, gaji anggota TGUPP sebenarnya lebih rendah dibandingkan aparatur sipil negara ( ASN) di lingkungan Pemprov DKI Jakarta.
Tatak menyatakan hal itu untuk menanggapi kritikan soal gaji dan tunjangan hari raya (THR) TGUPP yang disebut tak dipangkas, sedangkan THR dan tunjangan kinerja daerah (TKD) ASN dipangkas. "TGUPP bukan anak emas. Gaji lebih rendah daripada ASN pada level yang sama. TGUPP diberi THR full pun, dibandingkan dengan annual salary ASN yang sudah dipotong dan THR hanya gaji pokok, tetap lebih tinggi ASN," tulis Tatak melalui akun Twitter nya, @tatakujiyati, Minggu (31/5/2020). Tatak menyatakan, mayoritas anggota TGUPP memiliki gaji atau hak keuangan maksimal sekitar Rp 20 juta per bulan. Hanya satu orang yang bergaji lebih dari Rp 50 juta, yakni ketua TGUPP.
Gaji anggota TGUPP ditetapkan berdasarkan tingkat pendidikan dan pengalaman yang bersangkutan. "Sebagaimana yang banyak beredar, honor ketua TGUPP adalah Rp 51,57 juta. Honor ketua bidang TGUPP adalah Rp 41,22 juta. Tapi tahukah kamu? Mayoritas anggota TGUPP (52 persen) honornya sekitar Rp 20 juta ke bawah. Bahkan 22 persen di antaranya honornya di bawah Rp 9 juta per bulan," kata Tatak. "Level terbawah honor TGUPP hanya Rp 8 juta per bulan. Itu dengan pendidikan S 1 dan pengalaman kerja di bawah 5 tahun," lanjutnya.
Tatak kemudian membandingkan gaji anggota TGUPP dan gaji ASN DKI setiap bulannya. Tatak menuturkan, ASN atau PNS DKI dengan pendidikan S 1 akan menerima gaji sekitar Rp 20 juta per bulan pada tahun pertamanya. Sementara itu, anggota TGUPP dengan pendidikan S 1 dan pengalaman di bawah lima tahun memiliki gaji Rp 8 juta per bulan. "ASN Pemprov DKI pajaknya ditanggung negara, TGUPP bayar pajak penghasilan sendiri. Take home pay (ASN) tak berubah, sementara anggota TGUPP, termasuk yang honornya Rp 8 juta per bulan, itu bayar pajak penghasilan sendiri, take home pay dia hanya Rp 7,8 juta saja," ucap Tatak.
Tatak pun membantah tudingan TGUPP DKI Jakarta sebagai anak emas di Pemprov DKI. Menurutnya, TGUPP bertugas mempercepat pembangunan di Jakarta, seperti halnya KSP. TGUPP, lanjut dia, tidak hanya ada di Jakarta, tetapi juga di daerah daerah lainnya di Indonesia. Menurut dia, banyak instansi sejenis TGUPP di pemda lain yang datang ke Jakarta untuk belajar dari TGUPP DKI.
"TGUPP itu bukan anak emas. TGUPP hanya pekerja profesional bantu Gubernur dan Wagub yang digaji cukup sesuai standar DKI. TGUPP diperlukan untuk percepatan pembangunan daerah seperti posisi KSP atau UKP4 (dulu)," ujar Tatak.